MILENIALPOS.com – Ramainya tagar Kabur Aja Dulu atau #KaburAjaDulu di media sosial memicu spekulasi tentang seberapa besar keinginan nyata masyarakat Indonesia untuk pindah ke luar negeri. Bukan sekadar tagar, rupanya, niat migrasi di kalangan masyarakat khususnya anak muda cukup signifikan.
Hal ini terungkap dalam hasil survei terbaru yang dilakukan oleh YouGov Indonesia. Survei yang dilakukan pada 24-27 Februari 2025 itu menemukan bahwa Gen Z menjadi generasi yang paling minat untuk pindah ke luar negeri dalam beberapa tahun ke depan sebagaimana diungkap oleh 41 persen dari responden.
Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kalangan Milenial sebesar 31 persen, Gen X 26 persen, dan Baby Boomers 12 persen. Selain faktor generasi, status pernikahan dan latar belakang profesional juga berpengaruh terhadap niat masyarakat untuk migrasi.
Secara keseluruhan, mereka yang belum menikah lebih terbuka terhadap kemungkinan pindah ke luar negeri sebagaimana diakui oleh 42 persen responden, sementara mereka yang sudah menikah cenderung memilih untuk tetap di Indonesia sebagaimana diungkap oleh 49 persen responden.
Motivasi #KaburAjaDulu
Hasil survei yang melibatkan 2.003 responden itu juga menemukan bahwa sebanyak 29 persen responden yang ingin pindah ke luar negeri memiliki tujuan untuk memulai bisnis sendiri. Kelompok ini didominasi oleh profesional tingkat tinggi dan individu dari kelas sosial-ekonomi atas (upper I class), dengan negara tujuan utama untuk memulai usaha yakni Jepang (51 persen), Australia (27 persen), dan Swiss (18 persen).
Dalam konteks motivasi, sebagian besar mahasiswa dan akademisi melihat ini sebagai kesempatan untuk melanjutkan studi sebagaimana diakui oleh 52 persen responden, sementara profesional muda mempertimbangkan peluang bisnis dan karier global sebagaimana diungkap oleh 39 persen responden.
Di sisi lain, tidak semua generasi memiliki pandangan yang sama terhadap masa depan Indonesia. Gen X tercatat sebagai kelompok yang paling optimistis, sebagaimana 40 persen dari mereka merasa yakin akan arah perkembangan negara. Sebaliknya, Gen Z memiliki tingkat pesimisme tertinggi, sebagaimana 37 persen responden merasa kurang yakin terhadap masa depan Indonesia.
“Perbedaan ini mencerminkan bagaimana pengalaman hidup dan tahapan karier dapat mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap peluang di dalam negeri maupun di luar negeri,” kata Edward Hutasoit selaku General Manager YouGov Indonesia, dalam rilis resminya, Jumat (7/3/2025).
Edward menambahkan jika sebelumnya pindah ke luar negeri untuk studi sudah menjadi hal yang umum, kini usia produktif Indonesia juga mulai mempertimbangkan untuk pindah demi memulai bisnis atau berkarier di luar negeri. Hal ini, katanya, menunjukkan bahwa keputusan untuk bermigrasi bukan hanya didorong oleh pendidikan, tetapi juga faktor ekonomi dan peluang usaha yang lebih luas.
Meski demikian, tidak semua masyarakat melihat luar negeri sebagai pilihan utama untuk menyikapi rasa pemisme terhadap masa depan Indonesia. Di antara mereka yang memilih untuk tetap di Indonesia, banyak yang merespons perubahan dengan strategi seperti meningkatkan karier lokal sebagaimana diakui 41 persen responden, mempertimbangkan pendidikan lanjutan (16 persen), atau mengadopsi gaya hidup yang lebih hemat (40 persen).
Seperti diketahui, belakangan ini tagar Kabur Aja Dulu atau #KaburAjaDulu menjadi fenomena yang ramai dibicarakan publik di media sosial. Tagar ini merupakan ungkapan atau seruan dari masyarakat khususnya anak muda untuk meninggalkan atau ‘kabur’ dari Indonesia demi bekerja maupun melanjutkan studi di luar negeri.
Fenomena Kabur Aja Dulu dianggap sebagai bentuk kekecewaan masyarakat Indonesia terhadap kondisi ekonomi, sosial, dan keadilan di dalam negeri. Situasi tersebut terjadi diduga karena banyaknya kebijakan pemerintah belakangan ini yang dinilai tidak berpihak pada kesejahteraan masyarakat.
Tagar #KaburAjaDulu awalnya muncul hingga beredar masif di media sosial X. Penggunaan tagar tersebut oleh warganet disertai dengan ajakan untuk para anak muda agar mengambil pendidikan, bekerja, ataupun sekadar tinggal di luar negeri.
Fenomena Kabur Aja Dulu dikaitkan dengan sistem pendidikan di Tanah Air yang cenderung memiliki biaya mahal, rendahnya ketersediaan lapangan kerja, dan gaji per bulan yang rendah.
Bahkan, banyak netizen yang menggunakan tagar #KaburAjaDulu untuk mengunggah informasi terkait kesempatan studi atau bekerja di luar negeri untuk “kabur” dari Indonesia. Mereka berbagi informasi seputar lowongan kerja, beasiswa, les bahasa, serta pengalaman berkarier dan kisah hidup di luar negeri dengan menggunakan tagar Kabur Aja Dulu.
Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Nasional (Unas) Sigit Rochadi menilai fenomena tagar Kabur Aja Dulu merupakan bentuk penilaian generasi muda khususnya kalangan terdidik kepada pemerintah saat ini, yang dianggap kurang memperhatikan hak-hak warga negara khususnya dalam hal mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Penilaian itu lantas berkembang menjadi satu sikap bahwa peluang mendapatkan kerja di dalam negeri saat ini kian menyempit. Kondisi tersebut makin diperparah dengan kebijakan pemerintah untuk melakukan efisiensi anggaran, sehingga perusahaan-perusahaan yang selama ini mengandalkan kerja sama dengan pemerintah harus mengurangi tenaga kerja.
“Misalnya pekerja hotel jelas sebentar lagi akan dikurangi. Kemudian perusahaan-perusahaan swasta yang biasa bekerja sama dengan pemerintah pasti sebentar lagi akan kehilangan proyek-proyek yang biasanya datang dari pemerintah. Jadi pengurangan tenaga kerja juga akan besar-besaran akan terjadi. Kemudian masyarakat akhirnya mencari pekerjaan atau peluang di luar negeri,” katanya kepada Hypeabis.id lewat sambungan telepon, Rabu (20/2/2025).
Sigit mengatakan fenomena Kabur Aja Dulu juga tidak bisa dilepaskan dari keputusan pemerintah yang kini membangun struktur organisasi sangat gemuk dengan jumlah anggota kabinet yang sangat besar. Hal ini, katanya, menumbuhkan pesimisme terutama di kalangan anak muda. Alih-alih menciptakan lapangan kerja yang besar, pemerintah justru membuat kabinet yang gemuk dengan anggaran yang besar.
“Artinya pemerintah yang mendapat kepercayaan dari masyarakat sekitar hampir 60 persen suara kemarin dalam pemilihan umum [Pemilu] itu tidak menjawab dengan program-program yang menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.